Senin, 28 Maret 2011

SID: Tiga Pemberontak, 1,5 juta Penggemar

SID: Tiga Pemberontak, 1,5 juta Penggemar

“Kalau sejak awal berdiri mungkin penggemarnya akan sebesar U2,” kata Jerinx.
Di jejaring sosial Facebook, Superman is Dead (SID) punya lebih dari 1,5 juta penggemar. Apa artinya? “Tanggung jawab yang lebih besar. Kami harus bisa menyampaikan atau melakukan sesuatu dengan lebih cerdas,” kata Ari Astina yang lebih akrab dipanggil Jerinx, penabuh drum dan frontman band punk tersohor di Bali ini.
Untuk perbandingan, Slank, band rock and roll yang oleh banyak media disebut band dengan jumlah penggemar terbanyak di Indonesia ternyata “cuma” punya sekitar 750 ribu penggemar di Facebook hingga tulisan ini dibuat. Perbandingan lain, Dewa 19 punya fans kurang dari 100 ribu di Facebook. Atau, mari kita bandingkan SID dengan (ehm!) ST 12 dengan sekitar 650 ribu fans di FB.
Dibanding tiga band di atas, SID punya fans paling banyak.
Namun, banyaknya penggemar juga bisa banyaknya musuh, atau, setidaknya “pengawas”. Sebab, lebih dari 1,5 juta fans di Facebook tidaklah berarti semua memang penggemar musik dan lirik band punk kelahiran Kuta ini. “Tidak semua fans di Facebook suka SID. Banyak yang ikut hanya untuk melihat hal negatif tentang kami,” kata Jerinx.
Menurut Jerinx banyaknya fans di Facebook berdampak pada perasaan tanggung jawab lebih besar. Misal, bagaimana melakukan gerakan lebih cerdas sehingga kalau ada yang mengkritik, mereka juga bisa memberi jawaban lebih cerdas. “Itu memotivasi saya dan anak-anak SID untuk belajar agar tidak asal bicara,” tambahnya.
Pertengan Desember lalu Jerinx berbagi pengalaman mengelola band dan fans ini di Bali Creative Festival (BCF). Selain Jerinx, pembicara lain di diskusi bertema Gono Gini Indie itu ada Pemimpin Redaksi Rolling Stone Indonesia Adib Hidayat dan anggota band Seringai, Sammy Bramantyo.
Sebenarnya, ngobrol santai selama sekitar dua jam itu tentang musik indie. Tulisan ini hanya mencomot sebagian omongan Jerinx tentang band dengan dua personil lain, Eka Arsana (Eka) dan Budi Sartika (Bobby) ini.
Anak punk nyinyir
Menurut Jerinx, pada awalnya SID tidak ingin membentuk fans club. Pandangan ini muncul karena SID mengawali perjalanan di belantara musik dari indie. Di kalangan musisi indie dan underground, kata Jerinx, ada kesepakatan untuk mengharamkan kultus individu atau band.
Sejarah Superman is Dead memang tak bisa dilepaskan dari dunia indie. Mereka menerbitkan tiga album pertamanya secara independen. Pada tahun 1997, band yang lahir dari Kuta ini mengeluarkan album Case 15. Dua tahun kemudian mereka mengeluarkan album sesuai nama band mereka sendiri, Superman is Dead. Album terakhir mereka di jalur independen, Bad, Bad, Bad, terbit pada 2002.
Setahun kemudian, mereka dikontrak mayor label, Sony BMG. Bersama label ini, SID mengeluarkan tiga album, yaitu Kuta Rock City (2003), The Hangover Decade (2005), Black Market Love (2006), dan Angels & the Outsiders (2009) .
Karena sejarahnya dekat dengan musik indie, maka ketika akhirnya SID dikontrak major label, banyak anak punk nyinyir pada tiga musisi ini.
Sekarang, Jerinx justru bersikap berbeda pada mereka yang menolak dikultuskan itu. Dia punya alasan sendiri. “(Ketidakberanian untuk dikultuskan) itu karena mereka tidak berani bertanggungjawab. Itu hanya pembenaran,” katanya.
Mengawali band dari dunia bawah tanah dan album yang diproduksi secara independen, SID pada awalnya memang tak terlalu peduli pada fans. Setelah merilis album pertama dan kedua, barulah mereka mulai peduli untuk membentuk kumpulan penggemar (fans club).
Menurut Jerinx, lahirnya fans club ini justru setelah penggemar mereka di berbagai daerah membuatnya terlebih dulu. Kalau dilihat secara kronologis, munculnya fans dari berbagai daerah ini memang tak bisa dilepaskan dari kontrak mereka bersama Sony BMG. Setelah SID mengeluarkan album bersama Sony BMG, fans mereka di banyak daerah kian bermunculan.
Penggemar di berbagai daerah itu punya nama masing-masing. Seiring waktu, mulai ada email dan berita bahwa sekelompok anak muda bikin kelompok penggemar untuk SID. “Maka kami berpikir kenapa namanya harus berbeda,” ujar Jerinx.
Setelah keluarnya album Black Market Love pada tahun 2006, Jerinx menyeritakan, mulai terbentuk sikap militan dari fans. Permintaan agar SID meresmikan nama fans club tersebut mulai muncul dari penggemar.
Pada tahun itu juga ada pertemuan untuk penggemar. Dan, nama resmi untuk penggemar SID tersebut adalah Outsider. Tak hanya di Bali, Outsider ini juga ada di daerah-daerah lain. “Kami bebaskan mereka bikin logo sendiri. Ternyata banyak yang bagus,” katanya.
Tak melulu bersilat kata
Outsider yang terserak itu kemudian berkumpul di jejaring sosial Facebook pada tahun itu juga. Grup Facebook itu dibuat salah satu fans dan teman mereka juga. Tapi, Jerix mengaku saat itu mereka belum terlalu hirau pada peluang kekuatan jejaring sosial tersebut. Seiring waktu, ketika jejaring sosial jadi trend, SID baru menyadari kuatnya media jejaring sosial ini.
Tentu saja SID juga punya website. Tapi, menurut Jerinx, kalah dinamis dibanding Facebook. Mungkin karena di Facebook memang lebih interaktif. Di dinding grupnya, musisi SID tak hanya memromosikan semua hal tentang musik mereka tapi juga pikiran dan sikap.
Melalui dinding itulah, SID menyebarluaskan idenya, termasuk untuk hal-hal sensitif bagi banyak orang. Misalnya tentang seks bebas, fundamentalisme, stigmatisasi pada lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), dan semacamnya. Lalu, para penggemar di jejaring itu bisa ikut berkomentar. Ada pro. Ada kontra. Pembicaraan beragam. “Jadi ada diskusi. Kami tak hanya kasih ilmu tapi juga belajar. Itu yang membuat Facebook jadi penting,” katanya.
Keberhasilan SID mencapai lebih dari 1,5 juta penggemar di Facebook menandai era baru penggunaan teknologi informasi oleh band. Bagi mereka, jejaring sosial tak hanya tempat untuk memajang foto narsis tapi juga berdiskusi.
Toh, tak melulu untuk bersilat kata. Di jejaring itu, SID juge memasang foto dan gambar. “Itu lebih kuat dibanding kata-kata. Jadi, energy movement SID lebih berkembang,” ujar Jerinx.
Di sana, mereka juga menambah foto-foto saat konser di berbagai daerah. Tujuannya untuk membangun keterikatan antara band dan penggemar. Mereka yang tak sempat nonton konser bisa menikmati foto-foto tersebut di Facebook.
Jadi, lengkaplah. Selain untuk tempat diskusi, Facebook juga jadi tempat untuk promosi. Tak hanya lagu-lagu tapi juga merchandise. “Secara bisnis berpengaruh sekali. Hari ini pasang foto kaos, besok sudah ada ribuan penggemar pesan,” aku Jerinx.
Pada akhirnya, banyaknya penggemar juga berpengaruh pada banyaknya pendapatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar